Monday, August 12, 2013

Percakapan antara Djadjang dan Mamad













Oleh Kwik Kian Gie

Pemerintah berencana tidak membolehkan kendaraan berpelat hitam membeli bensin premium, karena harga Rp. 4.500 per liter jauh di bawah harga pokok pengadaannya. Maka pemerintah rugi besar yang memberatkan APBN.

Apakah benar begitu ? Kita ikuti percakapan antara Djadjang dan Mamad. 
Djadjang (Dj) seorang anak jalanan yang logikanya kuat dan banyak baca. 
Mamad (M) seorang Doktor yang pandai menghafal.
Dj : Mad, apa benar sih pemerintah mengeluarkan uang tunai yang lebih besar dari harga jualnya untuk setiap liter bensin premium ?
M : Benar, Presiden SBY pernah mengatakan bahwa semakin tinggi harga minyak mentah di pasar internasional, semakin besar uang tunai yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengadakan bensin. Indopos tanggal 3 Juli 2008 mengutip SBY yang berbunyi : “Jika harga minyak USD 150 per barrel, subsidi BBM dan listrik yang harus ditanggung APBN Rp. 320 trilyun. Kalau USD 160, gila lagi. Kita akan keluarkan (subsidi) Rp. 254 trilyun hanya untuk BBM.”
Dj : Jadi apa benar bahwa untuk mengadakan 1 liter bensin premium pemerintah mengeluarkan uang lebih dari Rp. 4.500 ? Kamu kan doktor Mad, tolong jelaskan perhitungannya bagaimana ?
M : Gampang sekali, dengarkan baik-baik. Untuk mempermudah perhitungan buat kamu yang bukan orang sekolahan, kita anggap saja :
  • 1 USD = Rp. 10.000 dan harga minyak mentah USD 80 per barrel. 
  • Biaya untuk mengangkat minyak dari perut bumi (lifting) + biaya pengilangan (refining) + biaya transportasi rata-rata ke semua pompa bensin = USD 10 per barrel. 
  • 1 barrel = 159 liter. 
  • Jadi agar minyak mentah dari perut bumi bisa dijual sebagai bensin premium per liternya dikeluarkan uang sebesar (USD 10 : 159) x Rp. 10.000 = Rp. 628,93 – kita bulatkan menjadi Rp. 630 per liter. 
  • Harga minyak mentah USD 80 per barrel. Kalau dijadikan satu liter dalam rupiah, hitungannya adalah : (80 x 10.000) : 159 = Rp. 5.031,45. Kita bulatkan menjadi Rp. 5.000. 
  • Maka jumlah seluruhnya kan Rp. 5.000 ditambah Rp. 630 = Rp. 5.630 ? Dijual Rp. 4.500. Jadi rugi sebesar Rp. 1.130 per liter (Rp. 5.630 – Rp. 4.500). Kerugian ini yang harus ditutup oleh pemerintah dengan uang tunai, dan dinamakan subsidi.


Dj : Hitung-hitunganmu aku ngerti, karena pernah diajari ketika di SD dan diulang-ulang terus di SMP dan SMA. Tapi yang aku tak paham mengapa kau menghargai minyak mentah yang milik kita sendiri dengan harga minyak yang ditentukan oleh orang lain ?
M : Lalu, harus dihargai dengan harga berapa ?

Dj : Sekarang ini, minyak mentahnya kan sudah dihargai dengan harga jual dikurangi dengan harga pokok tunai ? Hitungannya Rp. 4.500 – Rp. 630 = Rp. 3.870 per liter ? Kenapa pemerintah dan kamu tidak terima ? Kenapa harga minyak mentahnya mesti dihargai dengan harga yang Rp. 5.000 ?
M : Kan tadi sudah dijelaskan bahwa harga minyak mentah di pasar dunia USD 80 per barrel. Kalau dijadikan rupiah dengan kurs 1 USD = Rp. 10.000 jatuhnya kan Rp. 5.000 (setelah dibulatkan ke bawah).

Dj : Kenapa kok harga minyak mentahnya mesti dihargai dengan harga di pasar dunia ?
M : Karena undang-undangnya mengatakan demikian. Baca UU no. 22 tahun 2001 pasal 28 ayat 2. Bunyinya : “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.” Nah, persaingan usaha dalam bentuk permintaan dan penawaran yang dicatat dan dipadukan dengan rapi di mana lagi kalau tidak di New York Mercantile Exchange atau disingkat NYMEX ? Jadi harga yang ditentukan di sanalah yang harus dipakai untuk harga minyak mentah dalam menghitung harga pokok.

Dj : Paham Mad. Tapi itu akal-akalannya korporat asing yang ikut membuat Undang-Undang no. 22 tahun 2001 tersebut. Mengapa bangsa Idonesia yang mempunyai minyak di bawah perut buminya diharuskan membayar harga yang ditentukan oleh NYMEX ? Itulah sebabnya Mahkamah Konstitusi menyatakannya bertentangan dengan konstitusi kita. Putusannya bernomor 002/PUU-I/2003 yang berbunyi : “Pasal 28 ayat (2) yang berbunyi : “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.”
M : Kan sudah disikapi dengan sebuah Peraturan Pemerintah (PP) ?

Dj : Memang, tapi PP-nya yang nomor 36 tahun 2004, pasal 27 ayat (1) masih berbunyi : “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi, keuali Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil, DISERAHKAN PADA MEKANISME PERSAINGAN USAHA YANG WAJAR, SEHAT DAN TRANSPARAN”. Maka sampai sekarang istilah “subsidi” masih dipakai terus, karena yang diacu adalah harga yang ditentukan oleh NYMEX.
M : Jadi kalau begitu kebijakan yang dinamakan “menghapus subsidi” itu bertentangan dengan UUD kita ?

Dj : Betul. Apalagi masih saja dikatakan bahwa subsidi sama dengan uang tunai yang dikeluarkan. Ini bukan hanya melanggar konstitusi, tetapi menyesatkan. Uang tunai yang dikeluarkan untuk minyak mentah tidak ada, karena milik bangsa Indonesia yang terdapat di bawah perut bumi wilayah Republik Indonesia.
Menurut saya jiwa UU no. 22/2001 memaksa bangsa Indonesia terbiasa membayar bensin dengan harga internasional. Kalau sudah begitu, perusahaan asing bisa buka pompa bensin dan dapat untung dari konsumen bensin Indonesia. Maka kita sudah mulai melihat Shell, Petronas, Chevron.
M : Kembali pada harga, kalau tidak ditentukan oleh NYMEX apakah mesti gratis, sehingga yang harus diganti oleh konsumen hanya biaya-biaya tunainya saja yang Rp. 630 per liternya ?

Dj : Tidak. Tidak pernah pemerintah memberlakukan itu dan penyusun pasal 33 UUD kita juga tidak pernah berpikir begitu. Sebelum terbitnya UU nomor 22 tahun 2001 tentang Migas, pemerintah menentukan harga atas dasar kepatutan, daya beli masyarakat dan nilai strategisnya. Sikap dan kebijakan seperti ini yang dianggap sebagai perwujudan dari pasal 33 UUD 1945 yang antara lain berbunyi : ”Barang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
Dengan harga Rp. 2.700 untuk premium, harga minyak mentahnya kan tidak dihargai nol, tetapi Rp. 2.070 per liter (Rp. 2.700 – Rp. 630). Tapi pemerintah tidak terima. Harus disamakan dengan harga NYMEX yang ketika itu USD 60, atau sama dengan Rp. 600.000 per barrel-nya atau Rp. 3.774 (Rp. 600.000 : 159) per liternya. Maka ditambah dengan biaya-biaya tunai sebesar Rp. 630 menjadi Rp. 4.404 yang lantas dibulatkan menjadi Rp. 4.500.
Karena sekarang harga sudah naik lagi menjadi USD 80 per barrel pemerintah tidak terima lagi, karena maunya yang menentukan harga adalah NYMEX, bukan bangsa sendiri.
Dalam benaknya, pemerintah maunya dinaikkan sampai ekivalen dengan harga minyak mentah USD 80 per barrel, sehingga harga bensin premium menjadi sekitar Rp. 5.660, yaitu:
Harga minyak mentah : USD 80 x 10.000 = Rp. 800.000 per barrel.
Per liternya Rp. 800.000 : 159 = Rp. 5.031, ditambah dengan
biaya-biaya tunai sebesar Rp. 630 = Rp. 5.660
Karena tidak berani, konsumen dipaksa membeli Pertamax yang komponen harga minyak mentahnya sudah sama dengan NYMEX.
M : Kalau begitu pemerintah kan kelebihan uang tunai banyak sekali, dikurangi dengan yang harus dipakai untuk mengimpor, karena konsumsi sudah lebih besar dibandingkan dengan produksi.

Dj : Memang, tapi rasanya toh masih kelebihan uang tunai yang tidak jelas ke mana perginya. Kaulah Mad yang harus meneliti supaya diangkat menjadi Profesor.

Sumber : http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/03/26/kwik-kian-gie-berbicara-tentang-bbm-449328.html

Kwik Kian Gie Berbicara Tentang BBM












Kwik Kian Gie :

Sesungguhnya biaya produksi minyak dari menggali minyak, kilang, hingga distribusi ke Pom Bensin menurut KKG adalah US$ 10/brl. Ada baiknya kita naikan saja jadi US$ 15/brl untuk memberi keuntungan bagi pendukung Neoliberalisme yang mengatakan Subsidi BBM itu ada. Itu sudah termasuk keuntungan yang cukup besar bagi para operator dan distributor.

Taruhlah rate 1 US$ = Rp 10.000 dan 1 barrel = 159 liter.
Jika harga minyak Rp 4.500/liter, artinya Rp 715.500/brl atau US$ 71/brl.
Jadi dengan biaya produksi hanya US$ 15/brl dan harga jual US$ 71/brl, sebetulnya pemerintah untung US$ 56/brl. 

Bayangkan jika produksi BBM kita 1 tahun 350 juta barel. Pemerintah untung US$ 19,6 milyar atau Rp 196 trilyun/tahun. Itu kalau pakai harga “Subsidi” Rp 4.500/liter. Kalau pakai harga Pertamax yang Rp 9000/liter, pemerintah untung Rp 392 trilyun/tahun.

Tapi bagaimana dengan harga minyak dunia yang misalnya US$ 120/brl? Bukankah kita rugi US$ 49/brl?
Benar kalau kita adalah negara bukan penghasil minyak seperti Singapura atau Jepang yang harus beli minyak dari negara lain. Tapi Indonesia memproduksi sendiri minyaknya sebesar 907 ribu barel/hari. 

Mau harga minyak dunia naik sampai US$ 200/brl pun sebetulnya biaya produksi minyak di Indonesia tidak akan berubah. Paling banter cuma US$ 15/brl.
Cuma ya itu beda pemikiran ekonom kerakyatan atau Islam dibanding ekonom Neoliberal yang berpihak pada perusahaan-perusahaan minyak asing.

Meski harga minyak dunia US$ 200/brl, Indonesia tetap untung dgn harga Rp 4500/ltr atau US$ 71 brl mengingat biaya produksi hanya US$ 15/brl.

Perbandingan di bawah dengan asumsi:
1 barel = 159 liter
1 US$ = Rp 10.000
Produksi minyak Indonesia = 907 ribu bph
Kebutuhan BBM “Subsidi” dgn harga Rp 4500/ltr (US$ 71/brl) = 740 ribu bph
Total biaya produksi minyak Indonesia = US$ 15/brl

HARGA MINYAK DUNIA (US$/BRL) 60 120 200 400
Persepsi Untung (Rugi)
Ekonom Rakyat 56 56 56 56
Ekonom Neoliberal 11 -49 -129 -329


Saat harga “Minyak Dunia” tinggi, kaum Neolib memandang Indonesia rugi. Padahal dibanding biaya produksi yang tetap, sebetulnya untung.

Anggito Abimanyu, salah satu fundamentalis neo-liberal Indonesia yang selalu bersikeras menaikkan harga BBM dengan alasan “mengurangi beban subsidi BBM”, mengakui bahwa selama ini tidak pernah ada subsidi dalam BBM.

“Masih ada surplus penerimaan BBM dibanding biaya yang dikeluarkan,” katanya dalam acara talkshow di TVOne hari Senin (13/03/2012), terkait rencana kenaikan harga BBM akibat kenaikan harga BBM dunia. Anggito menjadi salah satu narasumber bersama Kwik Kian Gie dan Wamen ESDM.

Mungkin Anggito tidak akan pernah memberikan pengakuan seperti itu kalau saja tidak karena ada Kwik Kian Gie yang telah lama menyampaikan pendapatnya bahwa isu “subsidi” adalah pembohongan publik, dan pendapat itu diulangi lagi dalam acaratalkshow tersebut di atas.
http://muslimdaily.net/opini/opini-17/anggito-abimanyu-selama-ini-tidak-pernah-ada-subsidi-bbm.html

Jika pun “benar” Pemerintah rugi, bisa jadi Pertamina dipaksa membeli minyak Indonesia yang 90% dikelola oleh perusahaan2 minyak AS seperti Chevron dan Exxon dengan harga New York. Jika begitu, solusinya adalah di Nasionalisasi. Cina dan Norwegia mengelola minyak mereka dengan BUMN mereka. Arab Saudi, Iran, dan Venezuela juga sudah menasionalisasi perusahaan minyak asing yang dulu memonopoli minyak mereka. Sekarang mereka makmur karena penerimaannya bertambah.

Sumber : http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/03/26/kwik-kian-gie-berbicara-tentang-bbm-449328.html

BBM Rp. 4500 per liter, ada kelebihan uang Rp. 3870 per liter










Kwik Kian Gie :

Subsidi BBM Bukan Pengeluaran Uang. Uangnya Dilarikan Kemana?


Dengan melonjaknya harga minyak mentah di pasaran dunia sampai di atas US$ 100 per barrel, DPR dan Pemerintah menyepakati mengubah pos subsidi BBM dengan jumlah Rp. 153 trilyun. Artinya Pemerintah sudah mendapat persetujuan DPR mengeluarkan uang tunai sebesar Rp. 153 trilyun tersebut untuk dipakai sebagai subsidi dari kerugian Pertamina qq. Pemerintah. Jadi akan ada uang yang dikeluarkan?

Saya sudah sangat bosan mengemukakan pendapat saya bahwa kata “subsidi BBM” itu tidak sama dengan adanya uang tunai yang dikeluarkan. Maka kalau DPR memperbolehkan Pemerintah mengeluarkan uang sampai jumlah yang begitu besarnya, uangnya dilarikan ke mana?

Dengan asumsi-asumsi untuk mendapat pengertian yang jelas, atas dasar asumsi-asumsi, pengertian subsidi adalah sebagai berikut.
- Harga minyak mentah US$ 100 per barrel.
Karena 1 barrel = 159 liter, maka harga minyak mentah per liter US$ 100 : 159 = US$ 0,63. 


- Kalau kita ambil US$ 1 = Rp. 10.000, harga minyak mentah menjadi Rp. 6.300 per liter.
-Untuk memproses minyak mentah sampai menjadi bensin premium kita anggap dibutuhkan biaya sebesar US$ 10 per barrel atau Rp. 630 per liter. Kalau ini ditambahkan, harga pokok bensin premium per liternya sama dengan Rp. 6.300 + Rp. 630 = Rp. 6.930.
- Dijualnya dengan harga Rp. 4.500. Maka rugi Rp. 2.430 per liternya. Jadi perlu subsidi.

Alur pikir ini benar. Yang tidak benar ialah bahwa minyak mentah yang ada di bawah perut bumi Indonesia yang miliknya bangsa Indonesia dianggap harus dibeli dengan harga di pasaran dunia yang US$ 100 per barrel. Padahal tidak. Buat minyak mentah yang ada di dalam perut bumi Indonesia, Pemerintah dan Pertamina kan tidak perlu membelinya? Memang ada yang menjadi milik perusahaan minyak asing dalam rangka kontrak bagi hasil. Tetapi buat yang menjadi hak bangsa Indonesia, minyak mentah itu tidak perlu dibayar. Tidak perlu ada uang tunai yang harus dikeluarkan. Sebaliknya, Pemerintah kelebihan uang tunai.

Memang konsumsi lebih besar dari produksi sehingga kekurangannya harus diimpor dengan harga di pasar internasional yang mahal, yang dalam tulisan ini dianggap saja US$ 100 per barrel.

Data yang selengkapnya dan sebenarnya sangat sulit atau bahkan tidak mungkin diperoleh. Maka sekedar untuk mempertanyakan apakah memang ada uang yang harus dikeluarkan untuk subsidi atau tidak, saya membuat perhitungan seperti Tabel terlampir.

Nah kalau perhitungan ini benar, ke mana kelebihan yang Rp. 35 trilyun ini, dan ke mana uang yang masih akan dikeluarkan untuk apa yang dinamakan subsidi sebesar Rp. 153 trilyun itu?
Seperti terlihat dalam Tabel perhitungan, uangnya yang keluar tidak ada. Sebaliknya, yang ada kelebihan uang sebesar Rp. 35,31 trilyun.

PERHITUNGAN ARUS KELUAR MASUKNYA UANG TUNAI TENTANG BBM 
(Harga minyak mentah USD 100 )
DATA DAN ASUMSI

  • Produksi : 1 juta barrel per hari
  • 70 % dari produksi menjadi BBM hak bangsa Indonesia
  • Konsumsi 60 juta kiloliter per tahun
  • Biaya lifting, pengilangan dan pengangkutan US $ 10 per barrel
  • 1 US $ = Rp. 10.000
  • Harga Minyak Mentah di pasar internasional Rp. US $ 100 per barrel
  • 1 barrel = 159 liter
  • Dasar perhitungan : Bensin Premium dengan harga jual Rp. 4.500 per liter


PERHITUNGAN
Produksi dalam liter per tahun : [70 % x (1,000.000 x 159 ) x 365]40,624,500,000
Konsumsi dalam liter per tahun60,000,000,000
Kekurangan yang harus diimpor dalam liter per tahun19,375,500,000

Rupiah yang harus dikeluarkan untuk impor ini
[(19,375,500,000 : 159) x 100 x 10.000]
121,900,000,000,000
Kelebihan uang dalam rupiah dari produksi dalam negeri
[40,624,500,000 x Rp. 3.870]
157,216,815,000,000
Walaupun harus impor dengan harga US$ 100 per barrel
Pemerintah masih kelebihan uang tunai sebesar
35,316,815,000,000

Perhitungan kelebihan penerimaan uang untuk setiap liter bensin premium yang dijual,
Harga Bensin Premium per liter (dalam rupiah)4,500
Biaya lifting, pengilangan dan transportasi
US $ 10 per barrel atau per liter :
(10 x 10.000) : 159 = Rp. 630 (dibulatkan)
630
Kelebihan uang per liter3,870

Sumber : http://yusaksunaryanto.wordpress.com/2008/05/14/gak-perlu-bbm-naik-ada-kelebihan-uang-per-liter-rp3870/

Friday, September 7, 2012

Generasi Kontrak Karya di Indonesia



 

Generasi 1
Pada kontrak karya yang pertama, pembagian hasil dalam bentuk uang dalam jumlah bebas (tidak ditentukan besarnya). Manajemen maupun operasional dalam melakukan eksplorasi itu berada di tangan kontraktor. Sementara jangka waktu kontrak selama 30 tahun dan dapat diperpanjang.

Generasi 2 : 1968-1983
Terdapat sedikit perubahan, yakni kontraktor pertambangan dapat bekerja sama dengan pihak lain yang telah memegang kuasa pertambangan. Sementara pembagian hasil ditentukan berdasarkan tarif yang ditetapkan pada setiap kontrak karya.
Generasi 3 : 1983-1986
Terdapat kesamaan dengan generasi sebelumnya, yakni manajemen dan operasional kontrak karya ditanggung oleh kontraktor. Sedangkan untuk bagi hasil mengacu pada Peraturan Menteri Nomor 352 Tahun 1971. Jangka waktu pengusahaan tambang pun sama seperti generasi I yakni 30 tahun.
Generasi 4 : 1986-1994Pemegang kuasa pertambangan sama dengan generasi II. Begitu pula soal operasional dan manajemen, semuanya berada di tangan kontraktor. Untuk bagi hasil pada generasi ini yaitu emas satu persen dari harga jika harga emas sebesar 300 dolar AS per troy ons. Namun, menjadi dua persen dari harga jika harga emas mencapai 400 dolar AS per troy ons. Untuk perak seni-lai satu persen jika harga 10 dolar AS per troy ons, dan dua persen per troy ons jika harga 15 dolar AS.
Generasi 5 : 1994-1996Tidak ada perubahan perizinan, begitu pula soal manajemen dan operasional. Meskipun demikian, terdapat aturan tambahan soal rasio kewajaran utang yang dimiliki kontraktor. Pembagian hasil mengacu pada Peraturan Menteri Nomor 1166.K/844/MPE/-1992 tanggal 12 September 1992 dan jangka waktu kontrak masih 30 tahun.
Generasi 6 : 1996-1998Tidak ada perubahan perizinan, manajemen, maupun operasional perusahaan yang mendapat kontrak karya. Pembagian hasil masih sama dengan generasi V denganjangka waktu kontrak 30 tahun.
Generasi 7 : 1998-2004Hampir tidak ada perubahan dengan KK sebelumnya.

Generasi 8 Terdapat perubahan jangka waktu kontrak yakni hanya 20 tahun untuk daerah kontrak lama. Sementara untuk daerah baru jangka waktu kontrak tetap selama 30 tahun. Bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor pun ditentukan 6040. Dengan catatan penghasilan pemerintah tiap tahun tidak boleh kurang dan 20 persen hasil kotor.

UU Pertambangan di Indonesia


Hertanto (2008) mengelompokan UU pertambangan secara umum menjadi :
1. Masa Indische Mijnwet (S.1899-214), dengan peraturan pelaksanaan antara lain :

  • Mijnordonantie (S.1930-38);
  • Minjpolitie Reglement (S.1930-341);
  • Petroleum Opslag Ordonantie (S.1927-199);
  • Petroleum Vervoer Ordonantie (S.1927-214);
  • Petroleum Opslag Verordening (S.1927-200);
  • Petroleum Vervoer Verordening (S.1928-144)

2. Masa UU No. 37 Prp. tahun 1960 dan UU No. 44 Prp. tahun 1960
3. Masa UU No. 11 tahun 1967
4. Masa UU No. 4 tahun 2009

Para ahli menyebut KK (COW-Contract of Work) super KP karena memiliki beberapa keunggulan :

  • Pertama : KK mencakup perizinan untuk seluruh rentang pengembangan mineral, mulai dari penyelidikan umum sampai pemasaran. Sebaliknya dalam KP, setiap tahap memerlukan perizinan sendiri.
  • Kedua : KK bersifat lex specialis, sehingga terlindung dari peraturan yang diterbitkan belakangan.
  • Ketiga : bahwa dasar-dasar teknik pertambangan yang dituangkan sebagai persyaratan kontrak adalah sama dan dapat dikatakan sudah dibakukan.
  • Keempat : bahwa persyaratan yang menyangkut keuangan, seperti perpajakan dan kewajiban lainnya, tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ditandatangani KK.


Definisi :

  • KK (Kontrak Karya) adalah suatu Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Perusahaan Swasta Asing atau Patungan antara Asing dengan Nasional (dalam rangka PMA) untuk Pengusahaan Mineral dengan berpedoman kepada UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing serta UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan Umum.
  • PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) adalah Perjanjian Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Perusahaan Swasta Asing atau patungan antara Asing dengan Nasional (dalam rangka PMA) atau Swasta Nasional untuk melaksanakan pengusahaan pertambangan bahan galian batubara.
  • KP (Kuasa Pertambangan) dalah wewenang kepada Badan ataupun perseorangan untuk melaksanakan pertambangan. Kuasa ini hanya dapat diberikan kepada Badan Usaha Nasional maupun Perorangan yang merupakan warga Negara Indonesia. Dengan adanya pembatasan subjek pelaksana pengusahaan ini diharapkan pengusahaan pertambangan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia.
    Jenis-jenis kuasa pertambangan meliputi:
    • Kuasa Pertambangan (KP) Penyelidikan Umum
    • Kuasa Pertambangan (KP) Eksplorasi
    • Kuasa Pertambangan (KP) Eksploitasi
    • Kuasa Pertambangan (KP) Pengolahan dan Pemurnian
    • Kuasa Pertambangan (KP) Pengangkutan dan Penjualan

Pendapatan Negara dan Daerah



 


Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar :
1. pendapatan negara dan
- penerimaan pajak - pajak-pajak yang menjadi kewenangan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan; dan bea masuk dan cukai.
- penerimaan negara bukan pajak :
  • iuran tetap;
  • iuran eksplorasi;
  • iuran produksi; dan 
  •  kompensasi data informasi.
2. pendapatan daerah.

  • pajak daerah;
  • retribusi daerah; dan
  • pendapatan lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Jenis Usaha Jasa Pertambangan



 

1. Konsultasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pengujian peralatan di bidang :

  • penyelidikan umum;
  • eksplorasi;
  • studi kelayakan;
  • konstruksi pertambangan;
  • pengangkutan;
  • lingkungan pertambangan;
  • pascatambang dan reklamasi; dan/atau
  • keselamatan dan kesehatan kerja.

2. Konsultasi, perencanaan, dan pengujian peralatan di bidang :

  • penambangan; atau
  • pengolahan dan pemurnian.